Saturday, November 13, 2010

Arthritis Gout

A. PENDAHULUAN

Istilah rheumatism berasal dari bahasa Yunani,rhumatismoz, yang berarti mukus; suatu cairan yang dianggap jahat, mengalir dari otak ke sendi dan struktur lain tubuh sehingga menimbulkan nyeri. Beberapa penelitian menunjukkan memang ada perubahan struktur mucine sendi (mukopalisakarida, asam hialuronidonat) pada beberapa jenis penyakit reumatik, sehingga istilah yang telah agak lama dipakai itu agaknya masih sesuai sampai saat ini.

Setiap kondisi yang disertai nyeri dan kaku pada sistem muskuloskeletal disebutrheum atik, termasuk penyakit jaringan ikat (penyakit kolagen). Sedangkan istilahar tr itis, umumnya dipakai bila sendi merupakan tempat utama penyakit rheumatik. Peradangan pada jaringan ikat, terutama yang berdekatan dengan sendi atau otot dan tendon disebutfibrositis, sedangkan iritasi jaringan ikat fibrosa di tempat melekatnya pada tulang disebutentes opati.

Reumatologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit sendi, termasuk penyakit arthritis, fibrositis, bursitis, neuralgia dan kondisi lainnya yang menimbulkan nyeri somantik dan kekakuan.

Hingga kini dikenal lebih dari 100 macam penyakit sendi yang seringkali memberikan gejala yang hampir sama. Oleh karena itu pendekatan diagnostik sangat diperlukan agar didapatkan diagnosis yang tepat, sehingga akhirnya pasien memperoleh penatalaksanaan yang adekuat. Perlu diingat pula bahwa gangguan reumatik dapat merupakan manifestasi artikular berbagai penyakit dan sebaliknya beberapa penyakit reumatik mempunyai manifestasi ekstra-artikular pada beberapa organ.

Dalam lebih dari 2 dekade terakhir ini diketahui bahwa berbagai penyakit remaik yang dianggap mempunyai dasar imunologik ternyata berkaitan dengan sistem hipokompatibilitas. Sistem ini ditentukan oleh faktor genetik yang pada manusia dikenal sebagai HLA (Human Leukocyte Antygen) tertentu. Antigen HLA adalah molekul pada permukaan sel yang sifatnya

ditentukan oleh gen respon imun yang sangat polimorfis yang letaknya ada

suatu kompleks pada kromosom No.6 manusia.

Sampai saat ini, diketahui 2 jenis antigen HLA yang berbeda dalam

struktur dan fungsi:

1.Molekul HLA kelas I, yaitu HLA A, B, C dan lokus-lokus lain yang

diekspresikan pada permukaan semua sel berinti dan berfungsi dalam

presentasi antigen pada limfosit T sitotoksik (CD8+).

2.Molekul HLA kelas II yaitu HLA-DR, DQ dan DP dan diekspresikan

terutama pada makrofag dan sel T yang aktif dan berfungsi

mempresentasikan antigen kepada limfosit T helper (CD4+).

Saat ini dapat dikatakan penggunaan pemeriksaan HLA dalam klinik masih terbatas. Pada banyak keadaan, antigen HLA yang berkaitan dengan penyakit juga terjadi relatif sering pada penduduk normal sehingga spesifitas penyakit berkurang. Disamping itu tidak semua pasien yang sakit mempunyai jenis HLA yang berkaitan dengan penyakitnya sehingga sensitifitasnya berkurang. Kaitan HLA dengan penyakit juga berbeda-beda pada berbagai etnik populasi. Penjelasan yang mungkin ats kaitan HLA yang bervariasi dan tidak lengkap ini adalah dengan ditemukannya beberapa alel HLA yang bereda tetapi mempunyai sequensi (rentetan) asam amino polimorfis yang sama (hipotesis epitop bersama).

Walaupun sekarang dapat dilakukan pemeriksaan HLA secar molekular, sehingga dapat dideteksi urutan asam amino yang berkaitan dengan penyakit, tetapi adanya frekuensi HLA tertentu yang tinggi dalam populasi normal masih membuat manfaatnya terbatas sebagai uji klinis. Walaupun begitu ada beberapa penyakit rematik yang dengan pemeriksaan HLA sekarang ini dapat merupakan informasi klinis yang berguna untuk diagnosis dan prognosis dan dapat berperan lebih besar pada pengobatan di masa yang akan datang.

A. TUJUAN

Setelah mahasiswa membaca makalah ini, mahasiswa dapat mengerti dan

memahami tentang penyakit Artritis Reumatoid mulai dari pengertian, etiologi

ditentukan oleh gen respon imun yang sangat polimorfis yang letaknya ada

suatu kompleks pada kromosom No.6 manusia.

Sampai saat ini, diketahui 2 jenis antigen HLA yang berbeda dalam

struktur dan fungsi:

1.Molekul HLA kelas I, yaitu HLA A, B, C dan lokus-lokus lain yang

diekspresikan pada permukaan semua sel berinti dan berfungsi dalam

presentasi antigen pada limfosit T sitotoksik (CD8+).

2.Molekul HLA kelas II yaitu HLA-DR, DQ dan DP dan diekspresikan

terutama pada makrofag dan sel T yang aktif dan berfungsi

mempresentasikan antigen kepada limfosit T helper (CD4+).

Saat ini dapat dikatakan penggunaan pemeriksaan HLA dalam klinik masih terbatas. Pada banyak keadaan, antigen HLA yang berkaitan dengan penyakit juga terjadi relatif sering pada penduduk normal sehingga spesifitas penyakit berkurang. Disamping itu tidak semua pasien yang sakit mempunyai jenis HLA yang berkaitan dengan penyakitnya sehingga sensitifitasnya berkurang. Kaitan HLA dengan penyakit juga berbeda-beda pada berbagai etnik populasi. Penjelasan yang mungkin ats kaitan HLA yang bervariasi dan tidak lengkap ini adalah dengan ditemukannya beberapa alel HLA yang bereda tetapi mempunyai sequensi (rentetan) asam amino polimorfis yang sama (hipotesis epitop bersama).

Walaupun sekarang dapat dilakukan pemeriksaan HLA secar molekular, sehingga dapat dideteksi urutan asam amino yang berkaitan dengan penyakit, tetapi adanya frekuensi HLA tertentu yang tinggi dalam populasi normal masih membuat manfaatnya terbatas sebagai uji klinis. Walaupun begitu ada beberapa penyakit rematik yang dengan pemeriksaan HLA sekarang ini dapat merupakan informasi klinis yang berguna untuk diagnosis dan prognosis dan dapat berperan lebih besar pada pengobatan di masa yang akan datang.

A. TUJUAN

Setelah mahasiswa membaca makalah ini, mahasiswa dapat mengerti dan

memahami tentang penyakit Artritis Reumatoid mulai dari pengertian, etiologi

ditentukan oleh gen respon imun yang sangat polimorfis yang letaknya ada

suatu kompleks pada kromosom No.6 manusia.

Sampai saat ini, diketahui 2 jenis antigen HLA yang berbeda dalam

struktur dan fungsi:

1.Molekul HLA kelas I, yaitu HLA A, B, C dan lokus-lokus lain yang

diekspresikan pada permukaan semua sel berinti dan berfungsi dalam

presentasi antigen pada limfosit T sitotoksik (CD8+).

2.Molekul HLA kelas II yaitu HLA-DR, DQ dan DP dan diekspresikan

terutama pada makrofag dan sel T yang aktif dan berfungsi

mempresentasikan antigen kepada limfosit T helper (CD4+).

Saat ini dapat dikatakan penggunaan pemeriksaan HLA dalam klinik masih terbatas. Pada banyak keadaan, antigen HLA yang berkaitan dengan penyakit juga terjadi relatif sering pada penduduk normal sehingga spesifitas penyakit berkurang. Disamping itu tidak semua pasien yang sakit mempunyai jenis HLA yang berkaitan dengan penyakitnya sehingga sensitifitasnya berkurang. Kaitan HLA dengan penyakit juga berbeda-beda pada berbagai etnik populasi. Penjelasan yang mungkin ats kaitan HLA yang bervariasi dan tidak lengkap ini adalah dengan ditemukannya beberapa alel HLA yang bereda tetapi mempunyai sequensi (rentetan) asam amino polimorfis yang sama (hipotesis epitop bersama).

Walaupun sekarang dapat dilakukan pemeriksaan HLA secar molekular, sehingga dapat dideteksi urutan asam amino yang berkaitan dengan penyakit, tetapi adanya frekuensi HLA tertentu yang tinggi dalam populasi normal masih membuat manfaatnya terbatas sebagai uji klinis. Walaupun begitu ada beberapa penyakit rematik yang dengan pemeriksaan HLA sekarang ini dapat merupakan informasi klinis yang berguna untuk diagnosis dan prognosis dan dapat berperan lebih besar pada pengobatan di masa yang akan datang.

A. TUJUAN

Setelah mahasiswa membaca makalah ini, mahasiswa dapat mengerti dan

memahami tentang penyakit Artritis Reumatoid mulai dari pengertian, etiologi

sampai prognosis sehingga dapat membantu mahasiswa dalam menentukan

diagnosa keperawatan yang tepat

BAB II

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Artritis Rheumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang walaupun manifestasi utamannya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh. Pada umumnya selain gejala artikular, AR dapat pula menunjukkan gejala konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah atau gangguan organ non artikular lainnya.

Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit jaringan ikat difus yang diperantarai oleh imunitas dan tidak diketahui penyababnya. Artritis reumatoid kira-kira 2 ½ kali lebih sering menyerang perempuan daripada laki-laki. Insiden meningkat dengan bertambahnya usia, terutama pada perempuan. Insedens puncak adalah antara usia 40 sampai 60 tahun.

B. ETIOLOGI

Penyebab AR sampai sekarang belum diketahui. Beberapa faktor di

bawah ini diduga berperan dalam timbulnya penyakit artritis rheumatoid.

1. Faktor genetik dan lingkungan

Terdapat hubungan antara HLA-DW4 dengan AR seropositif yaitu

penderita mempunyai resiko 4 kali lebih banyak terserang penyakit ini.

2.Hormon seks

Faktor keseimbangan hormonal diduga ikut berperan karena perempuan lebih banyak menderita penyakit ini dan biasanya sembuh sewaktu hamil.

3. Infeksi

Dugaan adanya infeksi timbul karena permulaan sakitnya terjadi secara mendadak dan disertai tanda-tanda peradangan. Penyebab infeksi diduga bakteri, mikoplasma, atau virus.

4. Heat Shock Protein (HSP)

HSP merupakan sekelompok protein berukuran sedang yang dibentuk

oleh tubuh sebgai respons terhadap stres.

5. Radikal bebas

Contohnya radikal superokside dan lipid peroksidase yang merangsang keluarnya prostaglandin sehingga timbul rasa nyeri, peradangan dan pembengkakan.





6. Umur

Penyakit ini terjdai pada usia 20-60 tahun, tetapi terbanyak antara

umur 35-45 tahun.

Artritis reumatoid ini merupakan bentuk artritis yang serius, disebabkan oleh peradangan kronis yang bersifat progresif, yang menyangkut persendian. Ditandai dengan sakit dan bengkak pada sendi- sendi terutama pada jari-jari tangan, pergelangan tangan, siku, dan lutut. Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui walaupun banyak hal mengenai patogenesisnya telah terungkap. Penyakit ini tidak dapat ditunjukkan memiliki hubungan pasti dengan genetik. Terdapat kaitan dengan penanda genetik seperti HLA-DW4 (Human Leukocyte Antigens) dan HLA-DR5 pada orang Kaukasia. Namun pada orang Amerika, Afrika, Jepang, dan Indian Chippewa hanya ditentukan kaitan dengan HLA-DW4. Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah destruksi pencernaan oleh produksi, protease, kolagenase, dan enzim hidrolitik lainnya. Enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendon, dan tulang pada

sendi, serta dilepaskan bersama – sama dengan radikal O2 dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear dalam cairan sinovial. Proses ini diduga adalah bagian dari respon autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara lokal Destruksi jaringan juga terjadi melalui kerja panus reumatoid. Panus merupakan jaringan granulasi atau vaskuler yang terbentuk dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke sendi. Di sepanjang pinggir panus terjadi destruksi, kolagen, dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam panus tersebut.

A. PATOFISIOLOGI

Pada artritis reumatoid, reaksi autoimun (yang sudah dijelaskan sebelumnya) terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kogen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot.

B.GAMBARAN KLINIS

Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada seseorang artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.

1.Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan

menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.

2.Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi di

tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal.

Hampir semua sendi diartrodial dapat diserang.

3.Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam; dapat bersifat generalisata

tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan

kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung

selama beberapa menit dan selalu berkurang dari satu jam.

4.Artritis erosif; merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik.

Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tei tulang.

5.Deformitas; Kerusakan jaringan penungjang sendi meningkatdengan

pejalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metekarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yangsering dijumpai. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metersal yang timbul sekunder dari subluksasi metetersal. Sendi-sendi yang besar juga dapa teserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerakan ekstensi.

6.Nodul-nodul reumatoid: adalah massa subkutan yang ditemukan pada

sekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.

7.Manifestasi

dekstra-artikular;

artritis

reumatoid

juga

dapat menyerangorgan-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.

Gbr. 1 Tangan reumatoid dengan boutonniere dan deformitas leher
angsa. Terlihat poliartritis pada sendi tangan. Diantara perubahan
deformitas yang berat terdapat otot yang tidak digunakan dalam
“snuffbox” anatomik (antara ibu jari dan jari telunjuk).

A. KRITERIA DIAGNOSTIK

Diagnostik artritis reumatoid dapat menjadi suatu proses yang kompleks. Pada tahap dini mungkin hanya akan ditemukan sedikit atau tidak ada uji laboratorium yang positif; perubahan apda sendi dapat minor; dan gejala gejalanya dapat hanya bersifat sementara. Diagnosis tidak hanya bersandar pada satu karakteristik saja tetapi berdasarkan pada suatu evaluasi dari sekelompok tanda dan gejala. Kriteria diagnostik yang dipakai adalah sebagai berikut:

1.Kekakuan pagi hari (lamanya paling tidak satu jam)
2. Artritis pada tiga atau lebih sendi
3. Artritis sendi-sendi jari-jari tangan
4. Artritis yang simetris

5. Nodul reumatoid

6. Faktor reumatoid dalam serum

7. Perubahan-perubahan radiologik (erosi atau dekalsifikasi tulang)

Diagnosis artritis reumatoid dikatakan positif apabikla sekurang- kurangnya empat dari tujuh kriteria ini terpenuhi. Empat kriteria yang disebutkan terdahulu harus sudah berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu.

A. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak banyak berperan dalam diagnosis reumatoid, namun dapat menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis gejala pasien. 1. Pemeriksaan laboratorium

a.Cairan synovial

1) Kuning sampai putih; derajat kekeruhan menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih; fibrin clot menggambarkan kronisitas.

2)Mucin clot. Bekuan yang berat dan menurunnya viskositas

menggambarkan penurunan kadar asam hyaluronat.

3)Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses

inflamasi, didominasi oleh sel neutrophil (65%).

4) Glukosa: normal atau rendah.

5)Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum,

berbanding terbalik dengna kadar komplemen cairan sinovium.

6)Penurunan kadar komlemen menggambarkan pemakaiannya pada

reaksi imunologis.

7) Peningkatan kadare IgG dan kompleks imun.

8)Phagocites – neutrophils yang “difagosit” oleh kompleks immun.

a. Darah tepi

1)Leukosit: normal atau meningkat (<12.000/mm3).>

menurun bila terdapat splenomegali; keadaain ini dikenal sebagai

Felty’s syndrome.

2) Anemia normositer atau mikrositer, tipe penyakit kronis.

a. Pemeriksaan Sero-imunologi

1) Rheumatoid factor + (IgM) - 75% penderita; 95% + pada penderita

dengan nodul subkutan.

2) Anti CCP antibodies positif telah dapat ditemukan pada AR dini

3) Antinuclear antibodies positif (10%-50% penderita) dengan titer yang lebih rendah dibandingkan dengan Lupus Eritematosus Sistemik.

4) Anti-DNA antibodies negatif.

5) Peningkatan CRP, fibrinogen dan laju endap darah,

menggambarkan aktivitas penyakit.

6)Meningkatnya kadaralpha1 danalpha2 globulin sebagai acute

phase reactans.

7)Meningkatnya

kadar

γ-gobulin

menggambarkan

kenaikan/akselerasi dari katabolisme protein pada penyakit kronis.

8)Kadar komplemen serum normal; menurunnya kadar komplemen

dapat terjadi pada keadaan penyakit dengan gejala ekstra artikular

yang berat seperti vaskulitis.

9) Adanya circulating immune comlexes – serta ditemukan pada

penyakit dengan manifestasi sistemik.

1. Pemerikasaan Gambaran Radiologik

Pada awal penyakit tidak ditemukan, tetapi setelah sendi mengalami kerusakan yang berat dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya rawan sendi. Terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan ini sifatnya tidak reversibel. Secara radiologik didapati adanya tanda-tanda dekalsifikasi (sekurang-kurangnya) pada sendi yang terkena.

Gbr. 2 Radiogram tangan reumatoid. Perhatikan penurungan jarak
sendi (panah hitam), erosi kaput metakarpal (panah putih kecil) dan
tejadi deformitas sendi (panah putih besar).

A. PENATALAKSANAAN

1. Pengobatan Medis

Belum ada penyembuhan untuk AR. Penyakit biasanya berlangsung seumur hidup, sehingga memerlukan penanganan seumur hidup pula. Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pasa pasien AR ditujukan untuk:

a. Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik

b. Mencegah terjadinya destruksi jaringan

c. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian

agar tetap dalam keadaan baik

d. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat

agar sedapat mungkin menjadi normal kembali.

Dalam pengobatan AR umumnya selau dibutuhkan pendekatan

multidisipliner. Suatu tim yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli

fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi, semuanya memiliki peranan masing-masing dalam pengelolaan pasien AR baik dalam bidang edukasi maupun penatalaksanaan pengobatan penyakit ini.

Beberapa jenis obat yang digunakan pada AR antara lain sebagai berikut:

1. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)

Obat ini diberikan sejak mulai sakit untuk mengatasi nyeri sendi akibat proses peradangan. Golongan obat ini tidak dapat melindungi rawan sendi maupun tulang dari proses kerusakan akibat penyakit AR. Contoh obat golongan ini yaitu Asetosal, Ibuprofen, Natrium Diclofenak, Indometasin, Asam flufenamat, Piroksikam, Fenilbutason, dan Naftilakanon.

2. Kortikosteroid

Obat ini berkhasiat sebagai antiradang dan penekan reaksi imun (imunosupresif), tetapi tidak bisa mengubah perkembangan penyakit AR. Kortikosteroid bisa digunakan secara sistemik (tablet, suntikan IM) maupun suntikan lokal di persendian yang sakit sehingga rasa nyeri dan pembengkakan hilang secara cepat. Pengobatan kortikosteroid sistemik jangka panjang hanya diberikan kepada penderita dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti radang pembuluh darah (vaskulitis).

3. Desease Modifing Anti Rheumatoid Drugs (DMARDs)/ Obat

pengubah perjalanan penyakit

Bila diagnosis AR telah ditegakkan, oabt golongan ini harus segera diberikan. Beberapa ahli bahkan menganjurkan pemberian DMARDs, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan DMARDs lain pada tahap dini, baru kemudian dikurangi secara bertahap bila aktivitas AR telah terkontrol. Bila penggunaan satu jenis DMARDs dengan dosis adekuat selama 3-6 bulan tidak menampakkan hasil, segera hentikan atau dikombinasi dengan DMARDs yang lain. Contoh obat golongan ini yaitu Klorokuin, Hidroksiklorokuin, Sulfazalazine, D-

penisilamin, Garam Emas (Auro Sodium Thiomalate, AST),

Methothexate, Cyclosporin-A dan Lefonomide.

4. Obat imunosupresif

Obat ini jarang digunakan karena efek samping jangka panjang yang

berat seperti timbulnya penyakit kanker, toksik pada ginjal dan hati.

5. Suplemen antiokdsidan

Vitamin dan mineral yang berkhasiat antioksidan dapat diberikan sebagai suplemen pengobatan seperti beta karoten, vitamin C, vitamin E, dan selenium.

1. Pengobatan Tradisional

Perawatan dan pengobatan terhadap penyakit rheumatik adalah sebagai

berikut.

a. Diusahakan agar badan dalam keadaan hangat.

b. Gunakan campuran garam 1 sendok makan, tawas ½ sendok makan, dan air rebusan sirih untuk merendam/mengompres bagian badan yang terserang rheumatik.

c. Daun seledri sebanyak 10 batang dimakan sebagai lalap.

d. Daun kumis kucing sebanyak 1 genggam, daun meniran 7 batang, temulawak 10 potong, daun murbei 1 genggam, dan bidara upas 1 jari. Semua bahan ini di rebus dalam air sebanyak 2 gelas, kemudian disaring untuk diminum airnya.

e. Dengan obat gosok alami:

1) Air jeruk nipis, minyak kayu putih dan kapur sirih dicampur dan

digunakan untuk menggosok bagian tubuh yang sakit.

2) Daun kecubung wuluh 5 lembar dan kapur siri ditumbuk dan

digosokkan pada bagian tubuh yang sakit.

3) Bengle lempu yang dan cabe ditumbuk halus, kemudian dicampur dengan minyak kayu putih dan digosokkan pada bagian tubuh yang sakit.

A. KOMPLIKASI

Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptikum yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (desease modifying antirhematoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis rheumatoid.

Komplikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan myelopati akibat ketidakstabilan vertebra vertical dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.

B. ANJURAN BAGI PENDERITA ARTRITIS RHEUMATOID

1. Makan sayuran (bayam, lobak, wortel, daun singkong, daun ubi jalar,

seledri)

2. Mengkonsumsi buah-buahan segar (tomat, kesemek, pepaya, mangga)

3.Tiga hari berturut-turut minumlah susu dan telur ayam kampung setengah

matang.
4. Jangan mengkonsumsi makanan/minuman yang dingin.
5. Mandi berendam dengan air hangat.
6. Istirahat yang cukup.
7. Jangan sampai kedingingan

Beberapa jenis makanan yang harus dihindari bagi semua penderita

rematik adalah sebagai berikut.

1.Minuman berarkohol, teh, kopi, coklat.

2. Mentega, telur ayam negeri, rempah-rempah yang pedas.
3. Kue-kue dari tepung dan gula putih.
4. Sayur kangkung, melinjo (daun dan buah), rebung dan daging.

A. PROGNOSIS

Pada umumnya pasien artritis reumatoid akan mengalami manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu episode artritis reumatoid dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Tapi sebagian besar penyakit ini telah terkena artritis reumatoid akan menderita penyakit ini selama sisa hidupnya dan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil lainnya akan menderita artritis reumatoid yang progresif yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwasannya penyakit ini bersifat sistemik. Maka seluruh organ dapat diserang, baik mata, paru-paru, jantung, ginjal, kulit, jaringan ikat, dan sebagainya. Bintik-bintik kecil yang berupa benjolan atau noduli dan tersebar di seluruh organ di badan penderita. Pada paru-paru dapat menimbulkan lung fibrosis, pada jantung dapat menimbulkan pericarditis, myocarditis dan seterusnya. Bahkan di kulit, nodulus rheumaticus ini bentuknya lebih besar dan terdapat pada daerah insertio dan otot-otot atau pada daerah extensor. Bila RA nodule ini kita sayat secara melintang maka kita akan dapati gambaran: nekrosis sentralis yang dikelilingi dengan sebukan sel-sel radang mendadak dan menahun yang berjajar seperti jeruji roda sepeda (radier) dan membentuk palisade. Di sekitarnya dikelilingi oleh deposit-deposit fibrin dan di pinggirnya ditumbuhi dengan fibroblast. Benjolan rematik ini jarang dijumpai pada penderita- penderita RA jenis ringan. Disamping hal-hal yang disebutkan di atas gambaran anemia pada penderita RA bukan disebabkan oleh karena kurangnya zat besi pada makanan atau tubuh penderita. Hal ini timbul akibat

pengaruh imunologik, yang menyebabkan zat-zat besi terkumpul pada jaringan limpa dan sistema retikulo endotelial, sehingga jumlahnya di daerah menjadi kurang. Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gratitis dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (desease modifying antiremathoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.


BAB III

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN

1. AKTIVITAS/ISTIRAHAT

Gejala:Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stress

pada sendi : kekakuan pada pagi hari. Keletihan.

Tanda: malaise, keterbatasan rentang gerak ; atrofi otot, kulit : kontraktur

atau kelainan pada sendi dan otot

2. KARDIOVASKULER

Gejala : Jantung cepat, tekanan darah menurun.

3. INTEGRITAS EGO

Gejala: Faktor-faktor stress akut atau kronis : Misalnya finansial,

pekerjaan, ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan, keputusasaan dan ketidak berdayakan, ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi misalnya ketergantungan pada orang lain

4. MAKANAN ATAU CAIRAN

Gejala: Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/

cairan adekuat : mual, anoreksia, Kesulitan untuk mengunyah.

Tanda: Penurunan berat badan, kekeringan pada membran mukosa.

5. HIGIENE

Gejala: Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas pribadi,

ketergantungan pada orang lain.

6. NEUROSENSORI

Gejala: kebas/kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada

jari tangan

Tanda: Pembengkakan sendi

7. NYERI / KENYAMANAN

Gejala: fase akut dari nyeri, terasa nyeri kronis dan kekakuan

KEAMANAN

Gejala: Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga,

kekeringan pada mata dan membran mukosa



9. INTERAKSI SOSIAL

Gejala: kerusakan interaksi dan keluarga/orang lain : perubahan peran:

isolasi

B. ASUHAN KEPERAWATAN

1. DIAGNOSA 1: Nyeri b/d proses inflamasi.

Kriteria hasil: nyeri hilang atau tekontrol



  • kaji keluhan nyeri, catat lokasi dan intensitas (skala 0 – 10). Catat faktor-faktor yang mempercepat dan tanda-tanda rasa sakit non verba ( R/ membantu dalam menentukan kebutuhan managemen nyeri dan keefektifan program )

  • berikan matras atau kasur keras, bantal kecil. Tinggikan linen tempat tidur sesuai kebutuhan (R/ matras yang keras, bantal yang kecil akan meliharakesejajaran tubuh yang tepat, menempatkan setres pada sendi yang sakit. Peninggian linen tempat tidur menurunkan tekanan pada sendi yang terinflamasi / nyeri )

  • biarkan pasien mengambil posisi yang nyaman pada waktu tidur atau duduk di kursi.

    Tingkatkan istirahat di tempat tidur sesuai indikasi ( R/ pada penyakit berat, tirah baring mungkin diperlukan untuk membatasi nyeri atau cedera sendi. )

  • dorong untuk sering mengubah posisi. Bantu pasien untuk bergerak ( R/ Mencegah terjadinya kelelahan umum dan kekakuan sendi. Menstabilkan sendi, )



DIAGNOSA 2 : Intoleran aktivitas b/d perubahan otot.
Kriteria Hasil : Klien mampu berpartisipasi pada aktivitas yang
diinginkan



  • Pertahankan istirahat tirah baring/duduk jika diperlukan. ( R/ Untuk mencegah kelelahan dan
    mempertahankan kekuatan.)

  • Bantu bergerak dengan bantuan seminimal mungkin. ( R/ Meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot dan stamina umum )

  • Dorong klien mempertahankan postur tegak, duduk tinggi, berdiri dan berjalan. ( R/ Memaksimalkan fungsi sendi dan mempertahankan mobilitas)

  • Berikan lingkungan yang aman dan menganjurkan untuk menggunakan alat bantu. ( R/ Menghindari cedera akibat kecelakaan seperti jatuh )

  • Berikan obat-obatan ( R/ Untuk menekan inflamasi sistemik akut )


DIAGNOSA 3 : Resiko tinggi cedera b/d penurunan fungsi tulang.

Kriteria Hasil : klien dapat mempertahankan keselamatan fisik


  • Kendalikan lingkungan dengan : Menyingkirkan bahaya yang tampak jelas, mengurangi

potensial cedera akibat jatuh ketika tidur misalnya menggunakan penyanggah tempat tidur, usahakan posisi tempat tidur rendah, gunakan pencahayaan malam siapkan lampu panggil. ( R/ Lingkungan yang bebas bahaya akan mengurangi resiko cedera dan membebaskan keluaraga )

  • Memantau regimen medikasi Izinkan kemandirian dan kebebasan maksimum dengan memberikan

kebebasan dalam lingkungan yang aman, hindari penggunaan restrain, ketika pasien melamun alihkan perhatiannya ( R/ Hal ini akan memberikan pasien merasa otonomi, restrain dapat meningkatkan agitasi, mengegetkan pasien )

DIAGNOSA 4 : Perubahan pola tidur b/d nyeri.

Kriteria Hasil : klien dapat memenuhi kebutuhan istirahat atau tidur



  • Tentukan kebiasaan tidur biasanya yang terjadi. ( R/ Mengkaji perlunya dan mengidentifikasi intervensi yang tepat)

  • Berikan tempat tidur yang nyaman. (R/ Meningkatkan kenyamanan tidur serta dukungan fisiologis/psikologis )

  • Buat rutinitas tidur yang baru yang dimasukkan dalam pola lama dan lingkungan baru ( R/ Bila

rutinitas baru mengandung aspek sebanyak kebiasaan lama, stress dan ansietas yang berhubungan

dapat berkurang. Membantu menginduksi tidur )

  • Instruksikan tindakan relaksasi ( R/ Meningkatkan efek relaksasi )

  • Gunakan pagar tempat tidur sesuai indikasi: rendahkan tempat tidur bila mungkin ( R/ Dapat merasakan takut jatuh karena perubahan ukuran tinggi tempat tidur, pagar tempat tidur memberikan

keamanan untuk membantu mengubah posisi)

  • Berikan sedative, hipnotik sesuai indikas ( R/ Mungkin diberikan untuk membantu pasien tidur atau istirahat. )






DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia Price, McCarty, Wilson Lorraine. 2006.PATOFISIOLOGI

Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6, volume 2. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.


Dalimartha, Setiawan. 2007. 96 Resep Tumbuhan Obat untuk Reumatik. Jakarta:

PENEBAR SWADAYA.


Gunadi, W. Rachmat, Et all. 2006. Diagnosis & Terapi Penyakit Reumatik.

Bandung: SAGUNG SETO.


Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah Brunner & Suddarth. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Sudoyo, Aru, Et all. 2006. Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM. JILID III, EDISI IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Depertemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.



Utomo, Prayogo. 2005. APRESIASI PENYAKIT PENGOBATAN SECARA

TRADISIONAL DAN MODERN. Jakarta: Penerbit RINEKA CIPTA.


Winoto, Pandi. 2003. Pengobatan Alternatif. Yogyakarta: PENERBIT

KANISIUS










No comments:

Post a Comment